LITERATUR REVIEW FILM

LITERATUR REVIEW FILM

Nama : Rima Indah Kristi 

NPM : 202246500110 

R4B 

Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film “Nanti Kita Cerita Hari Ini” (NKCTHI) Karya Angga Dwimas Sasongko oleh “SelviYani Nur Fahida” Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Sastra. Universitas Negeri Makassar

Film dalam arti sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan di TV. Film merupakan salah satu media massa yang berbentuk audio visual dan sifatnya sangat kompleks. Film menjadi wacana sosial dengan karakteristik unik yang menyebar ke berbagai tempat, dan perspektif psikoanalisis film untuk memengaruhi cara berpikir yang terkait dengan persepsi dan kesesuaian nilai di mana informasi tersebut dikomunikasikan. Film pada umumnya juga mengangkat sebuah tema atau fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah film “Nanti Kita Cerita Hari Ini” (NKCTHI) yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko. Film NKCTHI merupakan film ke-13 garapan Angga Dwimas Sasongko yang diadaptasi dari buku berjudul sama karya Marchella FP. Berbeda dengan adaptasi film lainnya, buku NKCTHI hanya berisikan kata-kata quotable. Pesan-pesan menyentuh di dalam buku ini kemudian dijadikan sebuah skenario berwujud cerita utuh. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode Content Analysis atau analisis isi. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri yang melakukan penelitian langsung seperti menonton, menyimak dan memahami film NKCTHI, dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes, yang berfokus pada gagasan signifikasi dua tahap (two orders of signification). Ada tiga aspek yang menunjukkan bahwa dalam film NKCTHI tidak hanya memiliki makna umum namun juga memiliki makna denotasi, makna konotasi dan mitos.

Film dalam arti sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan di TV. Film merupakan salah satu media massa yang berbentuk audio visual dan sifatnya sangat kompleks. Film menjadi sebuah karya estetika sekaligus sebagai alat informasi yang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda, juga alat politik. Ia juga dapat menjadi sarana rekreasi dan edukasi, di sisi lain dapat pula berperan sebagai penyebarluasan nilai-nilai budaya baru. Film bisa disebut sebagai sinema atau gambar hidup yang mana diartikan sebagai karya seni, bentuk populer dari hiburan, juga produksi industri atau barang bisnis. Film sebagai karya seni lahir dari proses kreativitas yang menuntut kebebasan berkreativitas menurut H. Hafied dalam (Sudarto et al, 2015).

Menurut Wieianto, film merupakan bidang kajian yang sangat relevan untuk analisis semiotika karena film dibangun dengan berbagai tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Film biasanya mempunyai makna seperti yang dikemukakan Roland Barthes, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Biasanya penonton hanya mengetahui makna dari film secara menyeluruh, tetapi ketika film tersebut dianalisis, banyak sekali makna denotasi, konotasi, dan mitos.

Menurut Supiarza, dkk dalam (Manalu & Warsana, 2021) bahwa dalam film, gambar menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan. Film menjadi wacana sosial dengan karakteristik unik yang menyebar ke berbagai tempat, dan perspektif psikoanalisis film untuk memengaruhi cara berpikir yang terkait dengan persepsi dan kesesuaian nilai di mana informasi tersebut dikomunikasikan. Film merupakan alat bagi sutradara untuk menyampaikan sebuah pesan bagi para pemirsanya. Film pada umumnya juga mengangkat sebuah tema atau fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah film “Nanti Kita Cerita Hari Ini” (NKCTHI) yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko, dengan bintang seperti Rio Dewanto, Sheila Dara Aisha, Rachel Amanda, Donny Damara, Susan Bachtiar, Oka Antara, Niken Anjani, dan Agla Artalidia yang masing-masing memerankan tokoh Angkasa (laki-laki, si sulung), Aurora (perempuan, anak tengah), dan Awan (perempuan, bungsu) beserta ayah-ibu mereka dalam beberapa periode usia. Beberapa bintang lainnya menjadi pelengkap karakter lain, Chicco Jerikho, Umay Shahab, Muhammad Adhiyat, Sinyo, Nayla Denny Purnama, Alleyra Fakhira Kurniawan, Syaqila Afiffah Putri serta musisi Ardhito Pramono. Film NKCTHI ini menampilkan kisah sebuah keluarga yang di setiap adegannya terdapat petanda (signifier) dan petanda (signified) dan digunakan untuk menemukan suatu petanda denotasi yang merupakan penanda konotatif. Semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa peristiwa sosial/masyarakat dan kebudayaan merupakan kumpulan tanda-tanda. Roland Barthes meneruskan pemikiran De Saussure dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, yang mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Disinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap menggunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure (Husaina et al., 2018).

Dalam penelitian ini digunakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode Content Analysis atau analisis isi. Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi (Sudarto et al., 2015).

Kemudian instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri yang melakukan penelitian langsung seperti menonton, menyimak dan memahami film NKCTHI, dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes, yang berfokus pada gagasan tentang gagasan signifikasi dua tahap (two orders of signification). Yang mana signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam (Sudarto et al., 2015). Dan untuk menyelesaikan identifikasi masalah di atas, maka peneliti mengambil lima scene serta waktu dan durasinya yang memiliki pesan terkait dengan kehidupan keluarga yang telah dianalisis dengan menggunakan Teori Semiotika Roland Barthes.

Pada Scene 1: 0:02:14 – 0:03:25 (1 menit 11 detik)

Gambar 1. Keluarga berada di dalam mobil.

Sumber: Tangkap Layar Peneliti.

Makna Denotasi:

Pada gambar awal terlihat sepasang suami istri yang sedang berjalan keluar menuju mobil. Di gambar berikutnya sang suami kembali ke dalam rumah untuk memanggil kedua anaknya kemudian semuanya telah masuk ke dalam mobil dan sang suami melajukan mobil menuju rumah sakit untuk persalinan sang istri.

Makna Konotasi:

Konotasi yang ingin disampaikan dalam gambar ini adalah sebuah keluarga yang pada awalnya bahagia untuk menyambut anak kembar yang sudah dinanti-nanti sekaligus menjadi awal keluarga ini mendapat trauma karena kehilangan salah satu anaknya.

Mitos:

Melalui pemahaman konotasi pada gambar dapat dilihat bahwa sang suami sangat senang untuk menyambut anak kembarnya yang akan segera lahir. Namun, hal itu malah menjadi awal trauma besar bagi keluarganya karena salah satu anaknya meninggal saat persalinan. Jadi mitos yang ada di scene ini adalah karena sang suami terlalu senang maka satu anaknya meninggal saat persalinan.

Kemudian pada scene 2: 0:08:58 – 0:09:58 (1 Menit)

Gambar 2. Berkumpul di ruang keluarga.

Sumber: Tangkap Layar Peneliti.

Makna Denotasi:

Di awal scene terlihat Awan dan Angkasa memasuki rumah. Terlihat Ayah, Ibu, dan Aurora kakak kedua Awan sedang bersiap-siap untuk pergi ke restoran untuk merayakan ulang tahun pernikahan orangtua mereka.

Makna Konotasi:
Kebersamaan keluarga yang harmonis, namun ada konflik tersembunyi yang mulai terungkap.

Mitos:
Keluarga yang tampak harmonis di luar bisa menyimpan konflik internal yang kompleks.

Film "Nanti Kita Cerita Hari Ini" (NKCTHI) menggunakan berbagai tanda untuk menyampaikan pesan denotasi, konotasi, dan mitos. Penelitian ini menunjukkan bahwa film memiliki makna lebih dalam dari sekadar cerita, mencerminkan fenomena sosial dan budaya. Semiotika Roland Barthes membantu mengungkap lapisan makna dalam film, menjadikannya alat yang efektif untuk memahami dan menginterpretasikan pesan-pesan tersembunyi dalam karya sinematik.

 

ANALISIS SEMIOTIKA FILM "ALANGKAH LUCUNYA (NEGERI INI) Oleh: Anderson Daniel Sudarto, Jhony Senduk, Max Rembang

Film "Alangkah Lucunya (Negeri Ini)" mencerminkan kehidupan nyata di Indonesia, mengkritik pendidikan, pengangguran, dan kehidupan jalanan. Dengan banyaknya aktor peraih Piala Citra seperti Slamet Rahardjo dan Deddy Mizwar, film ini penuh dengan satir politik. Analisis semiotika diperlukan untuk memahami pesan moral yang ingin disampaikan, sehingga dapat menjadi inspirasi untuk pendidikan dan karakter bangsa Indonesia.

Film adalah media massa yang kompleks, berfungsi sebagai alat estetika, informasi, hiburan, propaganda, politik, rekreasi, dan edukasi. Film mencerminkan kreativitas yang membutuhkan proses panjang, mulai dari ide hingga produksi. Film "Alangkah Lucunya (Negeri Ini)" dirilis pada 15 April 2010, merupakan drama komedi satir yang mengkritik sosial dan politik di Indonesia

Menurut KBBI, analisis adalah penguraian suatu pokok atas bagian-bagiannya untuk pemahaman yang tepat. Anne Gregory menyatakan analisis sebagai langkah pertama dalam proses perencanaan.

Diperkenalkan oleh Hippocrates, semiotika adalah ilmu tentang tanda dan simbol yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotika mencakup tanda-tanda visual, verbal, tactile, dan olfactory.

Teori Semiotika Roland Barthes. Barthes mengembangkan semiotika dalam dua tingkat, yaitu denotasi (makna nyata) dan konotasi (makna kultural). Konotasi melibatkan simbol-simbol historis dan emosional. Barthes juga memperkenalkan konsep mitos, yaitu bagaimana budaya memahami realitas.

Penelitian ini menggunakan metode Analisis Isi (Content Analysis) dengan model Roland Barthes, fokus pada signifikasi dua tahap (denotasi dan konotasi). Denotasi adalah makna nyata dari tanda, sedangkan konotasi adalah makna kultural yang membentuk mitos.

Hasil Penelitian dan Pembahasan scene 1: 00:01:19 - 00:02:09 (54 Detik)

Denotasi:

Muluk berjalan di pasar tradisional Jakarta, menunjukkan penjual batu kebal bacok, undur-undur, ramalan hidup, dan ayat pelindung.

Konotasi:

Kontradiksi antara modernitas dan kepercayaan animisme di Indonesia. Muluk mewakili pemikiran modern, sedangkan penjual dan pembeli di pasar mewakili kepercayaan animisme.

Mitos:

Indonesia dikenal sebagai negara dengan berbagai kepercayaan, tetapi agama resmi menentang animisme. Pendidikan agama diwajibkan di sekolah, namun praktik animisme masih banyak ditemukan.

Pada scene 2: 00:02:56 - 00:03:52

Denotasi:

Muluk mengikuti seorang pencopet pasar dan kesal melihat pencopet itu mudah mendapat uang.

Konotasi:

Gambaran anak jalanan di Jakarta yang bekerja sebagai pencopet. Pencopet dianggap lebih terhormat daripada pengemis, yang dilihat sebagai tindakan putus asa.

Mitos:

Pencopet melihat mencopet sebagai pekerjaan layak karena kurangnya pendidikan dan kesempatan. Mereka lebih baik mencopet daripada mengemis untuk mencari makan.

Pada scene 3: 00:03:54 - 00:04:52 (59 Detik)

Denotasi:

Muluk melamar pekerjaan di perusahaan tetapi ditolak karena perusahaan sudah bangkrut.

Konotasi:

Kesulitan lapangan pekerjaan di Indonesia, meski banyak lulusan manajemen. Pendidikan tinggi tidak menjamin pekerjaan karena kurangnya kompetensi dan keterampilan praktis.

Mitos:

Indonesia diprediksi memiliki banyak sarjana muda, tetapi juga tinggi pengangguran. Sistem pendidikan harus meningkatkan kualitas agar lulusan dapat bersaing di dunia kerja.

Scene 4: 00:06:40 - 00:08:00

Denotasi:

Pak Makbul, Haji Sarbini, dan Haji Rahmat berdiskusi tentang pentingnya pendidikan di Indonesia.

Konotasi:

Pendidikan dianggap penting, namun kemajuan negara juga bergantung pada faktor lain seperti teknologi, industri, dan ekonomi.

Mitos:

Negara maju memiliki penguasaan teknologi, ekonomi yang kuat, dan rendah pengangguran. Pendidikan penting, tetapi bukan satu-satunya faktor kemajuan.

Scene 5: 00:43:00 - 00:46:29

Denotasi:

Muluk dan Samsul menjelaskan kepada pencopet cilik bahwa pendidikan tidak selalu membuat orang jujur, bisa saja menjadi koruptor.

Konotasi:

Korupsi dianggap lebih buruk daripada mencopet. Pendidikan seharusnya mengubah sikap dan perilaku menjadi lebih baik.

Mitos:

Kejahatan sering dikaitkan dengan orang yang tidak berpendidikan. Namun, banyak kejahatan dilakukan oleh orang terdidik.

Pada scene 6: 01:38:14 - 01:40:06

Denotasi:

Muluk berdebat dengan Sat-Pol PP yang ingin menangkap pengasong cilik. Anak-anak SD menunggu kedatangan Presiden.

Konotasi:

Perlawanan terhadap ketidakadilan dan antusiasme anak-anak terhadap pemimpin negara.

Mitos:

Harapan akan perubahan melalui pemimpin negara, namun realitas menunjukkan ketidakadilan masih terjadi.

Film "Alangkah Lucunya (Negeri Ini)" menggunakan semiotika untuk menyampaikan pesan moral tentang pendidikan, pengangguran, dan kepercayaan tradisional di Indonesia. Dengan memahami semiotika film ini, masyarakat dapat menghargai nilai pendidikan dan berperan aktif dalam memajukan bangsa.

Analisis Semiotika Poster Film Horor “The Conjuring 2” oleh Musdalifah Haidir Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Negeri Makassar.

Jurnal ini membahas bagaimana poster film "The Conjuring 2" digunakan sebagai media promosi dan informasi mengenai film tersebut. Dengan pendekatan deskriptif kualitatif dan analisis semiotika, jurnal ini menguraikan tanda-tanda verbal dan visual pada poster untuk memberikan pemahaman mengenai elemen-elemen yang menarik perhatian penonton.Poin-poin Utama

Pendahuluan:

·         Poster digunakan sebagai media promosi dan informasi.

·         Sejarah penggunaan poster dimulai dari Eropa pada tahun 1798.

·         Poster film telah berkembang dari selebaran sederhana menjadi karya seni dengan desain yang menarik.

·         Poster film horor, termasuk "The Conjuring 2", memiliki ciri khas tersendiri dalam menarik perhatian penonton.

Metode:

·         Metode penelitian deskriptif kualitatif.

·         Analisis berdasarkan teori semiotika.

·         Pengumpulan data dari jurnal, web, dan artikel yang relevan.

Pembahasan

·         Poster "The Conjuring 2" mengandung berbagai tanda semiotik.

·         Aspek verbal: judul, tanggal tayang, tim produksi, dan informasi sutradara.

·         Aspek visual: penggunaan warna, bentuk, latar belakang, dan posisi elemen-elemen visual.

Analisis Verbal

      • Teks-teks pada poster memberikan informasi mengenai cerita dan kredibilitas film.
      • Menekankan pada elemen-elemen seperti "THE NEXT TRUE STORY FROM THE CASE FILES OF ED AND LORRAINE WARREN" dan "FROM THE DIRECTOR OF CONJURING AND INSIDIOUS".

Analisis Visual:

      • Warna-warna yang digunakan (hitam, abu-abu, putih) memiliki makna tertentu yang berkaitan dengan tema horor.
      • Elemen visual seperti tangan memegang kalung salib dan gadis yang tampak ketakutan menciptakan suasana seram dan mendukung tema film.
      • Latar belakang yang gelap dan penggunaan cahaya dari jendela menambah kesan misterius dan menakutkan.

 Analisis Semiotika Film "The Menu": Pengungkapkan makna Denotasi dan Konotasi di tulis oleh Relivia Elsa Frisnatiara, Maya May Syarah, Ade Budi Santoso dari Fakultas Komunikasi dan Bahasa, Universitas Bina Sarana Informatika, Jakarta, Indonesia. 

Penelitian ini berfokus pada film sebagai objek kajian karena kombinasi efektif antara elemen visual dan audio mampu mempelajari bagaimana tanda-tanda dapat menyampaikan pesan secara efektif. Tujuannya adalah menganalisis penggunaan tanda-tanda visual dan audio dalam film "The Menu" untuk mengidentifikasi makna denotatif dan konotatif dengan analisis semiotika Roland Barthes, serta memperkuat pesan kritis dalam film tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Ditemukan bahwa makna denotasi menggambarkan restoran mewah sebagai tempat berkumpulnya individu-individu berstatus tinggi yang berubah menjadi tempat bunuh diri massal. Makna konotatif mengungkapkan alasan Chef Slowik untuk membakar restoran dan tindakan dramatis yang diambil sebagai hukuman para tamu, kecuali Margot yang mengingatkan Slowik akan esensi sejati dari passionnya. Mitos ditemukan dalam dialog Slowik "Api Pemurnian", yang digunakan simbolis untuk menggambarkan hukuman. Pesan yang disampaikan mengkritik masyarakat yang selalu menuntut lebih tanpa menghargai keindahan.Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, mengumpulkan data mengenai ucapan, tulisan, dan perilaku orang yang diamati. Semiotika Roland Barthes, yang terdiri dari tiga aspek utama, yaitu denotasi, konotasi, dan mitos, diterapkan untuk menganalisis film "The Menu". Denotasi adalah makna langsung, sedangkan konotasi adalah makna tambahan yang tersirat melalui pengalaman budaya dan personal. Mitos-mitos menjalankan fungsi naturalisasi, membuat nilai-nilai yang bersifat historis dan kultural tampak alamiah.

Hasil dan Pembahasan Analisis Denotasi dan Konotasi pada dialog

Denotasi: Lillian Blooms melihat tortilla dengan gambar restoran yang pernah ia kritik hingga tutup.

Konotasi: Kritik Lillian yang menghancurkan restoran tersebut.

Visual:

Denotasi: Tyler terlihat memfoto makanan walau dilarang dan panik saat diminta memasak.

Konotasi: Obsesi Tyler terhadap Chef Slowik dan kegagalannya dalam memasak.

Mitos

Konsep "Api Pemurnian" yang disebut oleh Chef Slowik digunakan untuk menggambarkan hukuman yang diberikan kepada para tamu. Mitos ini mencerminkan ide-ide sejarah yang memiliki akar dalam budaya, agama, dan tradisi, seperti api penyucian dalam agama Kristen atau tradisi suku Asli Amerika. Kesimpulannya yaitu makna denotasi dalam film "The Menu" adalah restoran mewah sebagai tempat berkumpulnya orang-orang berstatus tinggi yang berakhir dengan bunuh diri massal, kecuali Margot. Makna konotasi mengungkapkan alasan Chef Slowik untuk membakar restoran sebagai hukuman dan tindakannya yang dramatis. Film ini menggunakan satir untuk mengkritik masyarakat yang hanya fokus pada konsumsi tanpa menghargai apa yang ada. Konsep "Api Pemurnian" menjadi simbol untuk menggambarkan tindakan hukuman dalam film. Jadi di film ini mengkritik masyarakat yang cenderung hanya mengkritik dan selalu menuntut lebih baik dalam segala hal, sering melupakan pentingnya menghargai dan menikmati keindahan tanpa harus dinilai berdasarkan uang atau mencari kekurangannya. Margot, yang selamat, mengingatkan Slowik akan esensi seorang chef dan cintanya dalam memasak.

 

Analisis Semuotika Dan Pesan Moral Pada Film Imperfect 2019 Karya Ernest Prakasa Oleh Ryan Diputra, Yeni Nuraeni Program Studi Ilmu Komunikasi Strata Satu Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Gunadarma, Depok.

Film adalah alat untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak melalui media cerita. "Imperfect" adalah sebuah film yang bercerita tentang kisah perjalanan hidup seorang wanita bernama Rara, diperankan oleh Jessica Mila. Rara adalah seorang gadis yang memiliki tubuh gemuk dan berkulit sawo matang yang mencoba melawan bully, body shaming, dan standar kecantikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna yang direpresentasikan film "Imperfect" karya Ernest Prakasa, serta pesan moral yang ingin disampaikan oleh sutradara dan juga yang didapat oleh penonton film tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Semiotika Charles Sanders Peirce dan konsep pesan moral menurut Burhan Nurgiyantoro. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan paradigma konstruktivisme. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa film "Imperfect" merepresentasikan makna melalui aspek objek teori semiotika milik Charles Sanders Peirce yang terdiri dari dimensi Ikon, Indeks, dan Simbol. Selain itu, terdapat pesan moral yang dikaji melalui konsep moral Burhan Nurgiyantoro, yaitu moral untuk mensyukuri fisik yang diberikan Tuhan, mencintai diri sendiri, dan tidak mengomentari atau menghina fisik orang lain. Film merupakan produk dari media massa yang sangat populer dan berfungsi sebagai media hiburan, informasi, dan edukasi. Denis McQuail (2010) mencatat bahwa sepanjang sejarah perkembangan film, terdapat tiga tema besar yang penting: seni film, film dokumenter sosial, dan film sebagai media propaganda. Film dapat menyampaikan pesan moral kepada masyarakat, di mana moral merupakan batasan perbuatan manusia dengan nilai baik dan buruk. Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa pesan moral dalam cerita atau film biasanya dimaksudkan sebagai saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu. Pesan moral dikategorikan menjadi tiga macam: hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan sesama dalam lingkungan sosial. Film "Imperfect" karya Ernest Prakasa mengangkat isu body shaming, yaitu mengomentari fisik atau tubuh dengan cara negatif. Body shaming dapat berdampak buruk pada mental seseorang, menyebabkan perasaan tidak berharga dan depresi. Film "Imperfect" diproduksi oleh Starvision dan ditayangkan pada tahun 2019, mengisahkan perjuangan Rara melawan body shaming dan standar kecantikan.

Objek penelitian ini adalah film "Imperfect" dengan subjek penelitian meliputi sutradara Ernest Prakasa dan tujuh penonton film dengan berbagai latar belakang. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma kritis, memandang media sebagai cara untuk membangun pandangan alternatif dari budaya populer komersial yang dominan.

PEMBAHASAN

Representasi Makna dalam Film "Imperfect"

Dimensi Ikon

-Karakter Rara: Digambarkan sebagai wanita yang baik, ramah, dan optimis, namun kurang percaya diri terhadap fisiknya.

- Karakter Dika: Dika digambarkan sebagai pasangan yang pengertian dan mencintai pasangannya dengan tulus.

-Karakter Fey: Fey merupakan sahabat baik yang mendukung Rara dalam berbagai situasi.

- Karakter Marsha: Digambarkan sebagai tokoh antagonis yang merasa lebih baik dari Rara dalam hal penampilan fisik.

- Ibu Rara: Menggambarkan sifat ibu pada umumnya yang sering mengomentari fisik anaknya dengan maksud baik.

Dmensi Indeks

- Adegan dua lelaki menolak berbagi meja: Merepresentasikan keadaan di mana laki-laki menghindari wanita yang dianggap kurang menarik.

- Adegan Marsha dan temannya saling memuji: Merepresentasikan pergaulan wanita yang sering tidak tulus dalam memuji.

- Adegan Rara menjawab ketus pertanyaan adiknya: Menunjukkan rasa frustrasi Rara terhadap standar kecantikan yang dihadapi.

Dimensi Simbol

- Adegan-adegan dalam film "Imperfect" memiliki makna yang dapat diterima oleh penonton berdasarkan referensi masyarakat. Jadi film "Imperfect" karya Ernest Prakasa merepresentasikan makna dan pesan moral yang relevan dengan isu sosial seperti body shaming dan standar kecantikan. Melalui teori semiotika Charles Sanders Peirce dan konsep pesan moral Burhan Nurgiyantoro, film ini berhasil menyampaikan pesan penting tentang menerima diri sendiri dan menghargai orang lain tanpa melihat penampilan fisik.

 Analisis Semiotik Pesan Perjuangan pada Film "3 Srikandi" Karya Iman Brotoseno. Oleh Suriadi, Sulih Indra Dewi dari program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Tribhuwana Tunggadewi

Film "3 Srikandi" menggambarkan perjuangan historis atlet Indonesia yang memenangkan medali perak pertama untuk Indonesia di cabang panahan pada Olimpiade Seoul 1988. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan semiotik Roland Barthes untuk menganalisis pesan perjuangan yang disampaikan dalam film tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa setting dan karakterisasi film menyampaikan pesan ketahanan melawan penderitaan, pengorbanan, nasionalisme, realisasi harapan, latihan keras, kemenangan yang tertunda, melawan rasa sakit, dan perjuangan di balik kesuksesan tiga srikandi. Film ini juga menyoroti isu-isu terkait kesejahteraan atlet, menyerukan perhatian lebih dari pemerintah terhadap pengembangan olahraga. Dengan berkembangnya media massa, film menjadi media populer untuk menyampaikan berbagai pesan yang mencakup nilai-nilai agama, pendidikan, hingga cinta tanah air. "3 Srikandi," yang dirilis pada tahun 2016 dan disutradarai oleh Iman Brotoseno, dibintangi oleh Reza Rahadian, Bunga Citra Lestari, Chelsea Islan, dan Tara Basro. Film ini mengisahkan cerita nyata para pemanah Indonesia yang memenangkan medali di Olimpiade Seoul 1988, sebuah pencapaian signifikan bagi bangsa. Film ini merupakan catatan sejarah kebesaran Indonesia di bidang olahraga, khususnya panahan, dan bertujuan untuk menarik perhatian terhadap potensi cabang olahraga selain bulutangkis dan sepak bola. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis semiotika dan pesan perjuangan dalam film "3 Srikandi." Data dikumpulkan dan dianalisis menggunakan teori semiotik Roland Barthes, yang berfokus pada denotasi, konotasi, dan mitos. Pendekatan Barthes membantu mengungkap makna yang lebih dalam dan pesan yang tersembunyi dalam adegan-adegan film. Hasil dan Diskusi yaitu konsep perjuangan dianalisis melalui berbagai adegan, menekankan pada Latihan Keras:

- Denotasi: Metode latihan yang keras oleh Donal Pandiangan.

- Konotasi:Latihan keras melambangkan perjuangan untuk meraih kemenangan.

- Mitos: Kesuksesan membutuhkan usaha dan kerja keras yang besar.

Melawan Rasa Sakit:

- Denotasi:Nurfitriyana terus bertanding meskipun mengalami sakit pada bahunya.

- Konotasi: Rasa sakit bukanlah penghalang untuk meraih kemenangan.

- Mitos: Menahan rasa sakit adalah bagian dari mencapai kesuksesan.

Rela Berkorban.

- Denotasi: Kusuma berhenti dari pekerjaannya untuk terus berlatih.

- Konotasi: Kecintaannya pada panahan dan nasionalisme mendorongnya untuk membuat keputusan sulit.

- Mitos: Mencapai tujuan memerlukan pengorbanan. Analisis menunjukkan bahwa film ini menyampaikan pesan ketahanan, pengorbanan, nasionalisme, kerja keras, kemenangan yang tertunda, menahan rasa sakit, dan usaha di balik kesuksesan para srikandi. Film ini juga mengangkat isu kesejahteraan atlet, mengisyaratkan perlunya perhatian pemerintah. Jadi "3 Srikandi" diharapkan menjadi inspirasi bagi perkembangan perfilman di Indonesia dan memotivasi atlet muda untuk mengulang sejarah sukses tiga srikandi. Analisis semiotik film ini membawa beberapa permasalahan dan memberikan wawasan untuk penelitian selanjutnya, terutama yang berfokus pada tokoh-tokoh berpengaruh di balik kesuksesan "3 Srikandi." Dann Artikel jurnal ini memberikan analisis semiotik mendalam tentang film "3 Srikandi," menyoroti pesan-pesan perjuangan yang digambarkan melalui kerja keras, ketahanan terhadap rasa sakit, dan pengorbanan para karakter. Studi ini menekankan peran film dalam menginspirasi industri film dan atlet di Indonesia, serta menyerukan perhatian lebih terhadap kesejahteraan atlet dari pemerintah. Penggunaan teori semiotik Roland Barthes memungkinkan eksplorasi mendalam terhadap makna denotatif dan konotatif film, mengungkapkan mitos yang mendasari perjuangan yang digambarkan.

Representasi Karakter Feminisme dalam Film Enola Holmes 2 Jurnal Riset Rumpun Seni, Desain dan Media (JURRSENDEM) oleh Syifa Nadia Humaira, Cut Luthfia Tari, Hasan Sazali dari program Studi Ilmu Komunikasi/Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

Film berperan sebagai alat komunikasi massa yang mempengaruhi penonton berdasarkan isi pesannya. Enola Holmes 2, sebuah film misteri berlatar tahun 1800-an di London, menggambarkan perjuangan buruh yang tidak memperoleh kesejahteraan dan hak-hak mereka. Tokoh utama perempuan dalam film ini digambarkan sebagai subjek narasi aktif yang menyampaikan pesan-pesan feminisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode semiotika Roland Barthes untuk menganalisis representasi karakter feminisme dalam film ini. Kemduian berita tentang pelecehan seksual, diskriminasi, dan penindasan terhadap perempuan sering menjadi sorotan media massa. Data Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan signifikan kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan. Feminisme muncul sebagai gerakan memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Film sebagai media komunikasi massa mampu menyampaikan pesan dan mempengaruhi penontonnya, termasuk menyuarakan isu-isu feminisme.Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode semiotika Roland Barthes. Semiotika mempelajari bagaimana manusia memaknai tanda-tanda. Dalam penelitian ini, film Enola Holmes 2 dianalisis menggunakan teori Roland Barthes untuk memahami representasi karakter feminisme.Makna Denotasi dan Konotasi pada Film Enola Holmes 2

Data 01: Scene 1. Durasi 00:01:05 – 00:01:07

- Sign: Dua prajurit, seorang perempuan, pasar

- Signifer: Terdapat dua orang prajurit dan seorang perempuan di pasar

- Signified: Dua prajurit dengan pentungan dan borgol berhadapan dengan seorang perempuan berpakaian ungu dan rok biru di pasar. Ekspresi perempuan menunjukkan kekuatan tanpa rasa takut.

Makna Denotasi: Group shot yang menunjukkan perempuan berhadapan dengan prajurit di pasar. Makna Konotasi: Meskipun berada dalam posisi genting, Enola menunjukkan kekuatan dan keberanian.

Data 02: Scene 2. Durasi 00:02:20 - 00:02:26

- Sign: Seorang perempuan dalam ruangan kantor

- Signifer: Seorang perempuan berhadapan dengan beberapa orang di kantornya

- Signified: Enola berhadapan dengan calon klien yang ingin menyewa jasa detektif Sherlock.

Makna Denotasi: Medium close up yang menunjukkan Enola berhadapan dengan calon klien bangsawan. Makna Konotasi: Enola berusaha membuktikan bahwa dia bisa menjadi detektif sama seperti abangnya meskipun dia perempuan.

Data 03: Scene 3. Durasi 01:01:17 – 01:02:27**

- Sign: Bangsawan, pesta dansa, elegan, meriah, mewah

- Signifer: Seorang perempuan berdansa dengan seorang laki-laki di pesta dansa

- Signified: Enola berdansa dengan William Lyon di pesta dansa bangsawan.

Makna Denotasi: Two shot yang menunjukkan Enola berdansa dengan William. Makna Konotasi: Enola menunjukkan kelemahlembutan sambil mengancam William untuk memecahkan kasusnya.

Data 04: Scene 4. Durasi 01:05:57 – 01:06:09**

- Sign: Seorang perempuan bergaun, seorang laki-laki tua, penjara, gelap

- Signifer: Perempuan bergaun bersama laki-laki tua di penjara gelap

- Signified: Enola menggunakan gaun pesta dansa bersama Grail di penjara.

Makna Denotasi: Close up menunjukkan Enola dalam penjara.Makna Konotasi: Meskipun terpojok, Enola menunjukkan ketegasan.

Data 05: Scene 5. Durasi 01:16:40 – 01:17:20**

- Sign: Tiga perempuan, sekelompok laki-laki, hutan, kereta kuda

- signifer: Tiga perempuan dikepung sekelompok laki-laki di hutan

- Signified: Enola bersama ibu dan teman ibunya dikepung polisi di hutan.

Makna Denotasi: Group shot menunjukkan perempuan melawan sekelompok polisi pria. Makna Konotasi: Menunjukkan keberanian perempuan melawan penindasan. Jadi film Enola Holmes 2 menggambarkan representasi karakter feminisme melalui berbagai adegan yang menunjukkan kekuatan, ketangguhan, dan keberanian tokoh utama perempuan dalam menghadapi penindasan dan ketidakadilan gender. Dengan menggunakan metode semiotika Roland Barthes, penelitian ini berhasil mengungkap makna denotasi dan konotasi dari adegan-adegan tersebut, yang memperlihatkan bagaimana film ini menyampaikan pesan-pesan feminisme.

RASISME DALAM FILM THE HELP ANALISIS SEMIOTIK PENDEKATAN ROLAND BARTHES OLEH  HADJI PAUL

Analisis semiotika adalah cara yang menarik untuk menyelidiki makna dalam sebuah teks, termasuk film. Ini melibatkan penguraian simbol-simbol dan tanda-tanda yang digunakan dalam teks untuk memahami pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film. Dalam kerangka ini, penelitian tersebut memfokuskan pada film "The Help" dan bagaimana film tersebut merepresentasikan isu rasisme.Penelitian dimulai dengan menganalisis konteks sosial masyarakat Amerika pada tahun 1960-an, seperti yang ditampilkan dalam film. Ini kemudian dihubungkan dengan proses "decoding", di mana peneliti mengurai dan menafsirkan pesan-pesan yang disampaikan dalam film tersebut. Selanjutnya, analisis semiotik Roland Barthes digunakan untuk memahami lebih dalam tentang simbol-simbol yang ada dalam film dan bagaimana simbol-simbol tersebut membentuk makna rasisme. Dalam metodologi ini, peneliti menggunakan pendekatan kritis karena meneliti representasi rasisme dalam film memerlukan sudut pandang yang kritis terhadap konten dan pesan-pesan yang disampaikan. Metode riset analisis semiotika dipilih karena memungkinkan peneliti untuk menyelidiki tanda-tanda dan simbol-simbol dalam film, yang berguna untuk memahami bagaimana rasisme direpresentasikan dan dipahami dalam konteks film tersebut.


Representasi Nilai Keluarga Tionghoa Dalam Film Cek Toko Sebelah (Analisis Semiotika Roland Barthes) oleh Muhammad Naufal al hakim, Adrio Kusmareza Adim dari Telkom University

Pada tahap akhir penelitian ini, Erwin dan Yohan berusaha menyelamatkan toko Jaya Baru yang telah terlanjur terjual kepada perusahaan. Mereka menemui perusahaan tersebut dan berusaha meyakinkan mereka untuk membatalkan pembelian toko tersebut. Namun, mereka menghadapi kesulitan karena perusahaan sudah memiliki rencana untuk merombak toko tersebut menjadi sebuah mal modern. Erwin dan Yohan lalu mencoba memberikan proposal untuk menjaga keaslian toko Jaya Baru sambil tetap mengikuti rencana perusahaan untuk mengembangkan mal tersebut. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya perusahaan setuju untuk mempertimbangkan proposal mereka.

Naratif

Erwin dan Yohan bertemu dengan perusahaan yang telah membeli toko Jaya Baru. Mereka berusaha meyakinkan perusahaan untuk membatalkan pembelian tersebut karena toko tersebut memiliki nilai sejarah yang penting bagi keluarga mereka. Namun, perusahaan tidak tergerak oleh argumen mereka dan tetap mempertahankan rencana untuk merombak toko tersebut menjadi sebuah mal modern.

Denotasi

Erwin dan Yohan berdebat dengan perusahaan mengenai nasib toko Jaya Baru. Mereka mencoba meyakinkan perusahaan untuk mempertimbangkan nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung dalam toko tersebut. Meskipun mereka menghadapi penolakan awal, mereka tidak menyerah dan terus mencari cara untuk menyelamatkan toko tersebut.

Konotasi

Melalui scene ini, tergambar konflik antara nilai-nilai keluarga dan modernisasi. Erwin dan Yohan berjuang untuk mempertahankan warisan keluarga mereka, sementara perusahaan mewakili kekuatan modernisasi yang ingin merombak dan mengubah tradisi menjadi sesuatu yang lebih komersial. Meskipun demikian, kesepakatan akhir yang dicapai menunjukkan bahwa ada kemungkinan untuk menyatukan kedua nilai tersebut secara harmonis.


REPRESENTASI NILAI-NILAI SEPARATIS DALAM FILM (ANALISIS SEMIOTIKA PADA FILM THE HUNGER GAMES MOCKINGJAY) oleh Zoelyanis, Hamdani M. Syam, M.A. Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Syiah Kuala

Jurnal ini membahas representasi nilai-nilai separatis dalam film "The Hunger Games: Mockingjay Part 1 dan Part 2" dengan pendekatan analisis semiotika Roland Barthes. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai-nilai separatis yang terkandung dalam film tersebut dan bagaimana nilai-nilai ini direpresentasikan melalui berbagai elemen film seperti simbol, dialog, dan perilaku karakter. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pengumpulan data melalui observasi partisipan. Penelitian ini menggunakan pendekatan non-probability dengan purposive sampling untuk menetapkan kriteria tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat representasi nilai-nilai separatis dalam film tersebut, yang menggambarkan pemberontakan terhadap pemerintahan yang otoriter dan tirani yang dipimpin oleh Presiden Snow. Nilai-nilai ini direpresentasikan melalui simbol-simbol visual seperti salam tiga jari, video propaganda, dan adegan pemberontakan masyarakat. Analisis semiotika Roland Barthes digunakan untuk mengidentifikasi makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terkandung dalam elemen-elemen film. Misalnya, simbol-simbol seperti warna merah diinterpretasikan sebagai simbol energi, keberanian, dan pertempuran, sementara api dianggap sebagai simbol kemarahan dan kebencian.Kesimpulannya, film "The Hunger Games: Mockingjay Part 1 dan Part 2" mengandung representasi nilai-nilai separatis yang dapat dipahami melalui analisis semiotika. Film ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi juga dapat menjadi alat pembelajaran dan memberikan pengaruh pada pandangan dan perilaku penontonnya.

 

Analisis Semiotika Pesan Moral Film Kukira Kau Rumah oleh Mahdalena Berliana, Sholihul Abidin Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Putera Batam Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Putera Batam.

Jurnal ini memperkenalkan peran unik film dalam masyarakat, terutama dalam menyampaikan ide dan gagasan serta mengekspresikan kehidupan manusia. Film Indonesia, khususnya dalam genre drama, sangat diminati karena kesesuaiannya dengan realitas sosial. Film ini dibahas secara singkat, dengan fokus pada cerita tentang seorang gadis bernama Niskala yang mengidap bipolar disorder. Diketahui bahwa film ini berhasil meraih kesuksesan di bioskop dengan jumlah penonton yang signifikan. Konsep semiotika dijelaskan sebagai studi tentang tanda-tanda dan sistem tanda, dengan penjelasan tentang penanda (signifier) dan petanda (signified). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan data yang diambil dari film "Ku Kira Kau Rumah" melalui observasi, dokumentasi, dan studi kepustakaan. Penelitian ini menetapkan objek penelitian dan subyek penelitian, dengan analisis terhadap potongan-potongan scene tertentu dalam film. Bagian ini menguraikan hasil analisis pesan moral dalam film "Ku Kira Kau Rumah" menggunakan pendekatan semiotika. Beberapa elemen yang dianalisis termasuk penanda dan petanda, wadah dan isi, bahasa dan tuturan, serta dimensi sinkronis dan diakronis. Dan jurnal tersebut menyimpulkan bahwa film "Ku Kira Kau Rumah" mengandung berbagai pesan moral, termasuk tentang keluarga, persahabatan, keberanian, dan menghargai kesempatan dalam hidup. Interpretasi pesan moral ini dapat menjadi inspirasi bagi penonton untuk menghadapi hidup dengan optimisme dan menghargai hubungan penting dalam hidup mereka. Jurnal tersebut memberikan gambaran yang komprehensif tentang analisis semiotika pesan moral dalam film "Ku Kira Kau Rumah", dengan merinci metodologi penelitian dan temuan yang diperoleh secara detail.

 

Analisis Semiotika Terhadap Tokoh Utama Perempuan Dalam Film “Perempuan Tanah Jahanam” Glen Aviaro Samanda, Ade Kusuma2, 2UPN Veteran Jawa Timur.

Pada tahap konotasi, penelitian ini mengungkap makna-makna yang lebih mendalam yang terkandung dalam representasi tokoh utama perempuan dalam film "Perempuan Tanah Jahanam". Salah satu makna yang ditemukan adalah keberanian tokoh perempuan dalam melawan budaya patriarki. Dalam konteks ini, keberanian Maya dan Dini untuk menghadapi berbagai ancaman dan kesulitan hidup mereka di kota besar, serta tekad mereka untuk mencari kehidupan yang lebih baik di desa, mencerminkan semangat perlawanan terhadap norma-norma patriarki yang menghambat perempuan.

Selain itu, konotasi tokoh utama perempuan dalam film ini juga menunjukkan solidaritas dan dukungan antarperempuan. Hal ini terlihat dari hubungan Maya dan Dini yang saling mendukung satu sama lain dalam menghadapi tantangan hidup. Mereka bekerja sama untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang mereka hadapi, menunjukkan bahwa solidaritas antarperempuan dapat menjadi kekuatan dalam mengatasi ketidakadilan gender. Selain itu, konotasi tokoh perempuan dalam film ini juga mencerminkan nilai-nilai seperti kemandirian dan ketabahan. Maya dan Dini tidak hanya mengandalkan bantuan dari orang lain, tetapi juga berjuang secara mandiri untuk mencari jalan keluar dari masalah-masalah yang mereka hadapi. Mereka menunjukkan ketabahan dan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai rintangan, sehingga menggambarkan bahwa perempuan juga memiliki potensi untuk menjadi tokoh yang kuat dan tangguh. Melalui analisis semiotika, penelitian ini juga mengungkap adanya mitos feminisme yang terkonstruksi dalam film "Perempuan Tanah Jahanam". Konstruksi tokoh utama perempuan yang kuat, mandiri, dan berani melawan ketidakadilan gender menggambarkan sebuah narasi feminis yang memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan perempuan dalam masyarakat. Dengan demikian, film ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan pesan-pesan tentang pentingnya perlawanan terhadap norma-norma patriarki dan solidaritas antarperempuan.

 

REPRESENTASI KESETARAAN GENDER DALAM FILM MULAN (Analisis Semiotika Roland Barthes film Mulan ) di tulis oleh Ariyan Alfraita, Tira Fitria Wardhani, Julyanto Ekantoro, di Universitas Bhayangkara Surabaya. (

Ada adegan yang menampilkan percakapan antara seorang laki-laki dan perempuan di meja makan, dengan tangan laki-laki yang memukul meja. Dialog "kenali kedudukanmu" mungkin menunjukkan ketegangan atau konflik dalam hubungan.

Pada adegan ke 2. Mulan, berpakaian perang, memimpin sekelompok laki-laki masuk ke sebuah istana. Ini mungkin menunjukkan perubahan dalam peran Mulan dan pengakuan atas kemampuannya sebagai pemimpin.

Dan pada adegan ke . Mulan, dengan rambut panjang, berada di depan kaisar Cina di sebuah istana dengan penghargaan tertinggi sebagai petugas pengawal pribadi kaisar.

Konotasi:

·         Konotasi dari adegan ini adalah ayah Mulan marah karena dianggap putrinya melanggar norma peran gender yang ditetapkan. Ini mencerminkan budaya patriarki yang kuat di masyarakat.

·         Mulan mendapatkan pengakuan atas kemampuannya sebagai pemimpin, meskipun awalnya diusir dari kesatuannya karena pelanggaran identitas.

·         Penghargaan tertinggi yang diterima Mulan menunjukkan bahwa perempuan dapat mencapai posisi tertinggi di suatu organisasi jika mereka layak, menantang konvensi yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin.

Mitos:

·         Masyarakat dalam film ini mungkin memegang kepercayaan bahwa perempuan hanya memiliki peran tertentu dalam keluarga dan masyarakat, tetapi film ini menantang pandangan tersebut dengan memperlihatkan Mulan sebagai pemimpin yang efektif.

·         Film ini mematahkan stereotip bahwa hanya laki-laki yang dapat mencapai posisi tertinggi dalam organisasi atau militer.

·         Penghargaan yang diberikan kepada Mulan mencerminkan perubahan dalam pandangan masyarakat tentang perempuan dan peran mereka dalam masyarakat, menunjukkan bahwa perempuan juga dapat menjadi pemimpin yang efektif. Jadi jurnal ini memberikan analisis mendalam tentang bagaimana film "Mulan" (2020) merepresentasikan isu kesetaraan gender melalui simbol-simbol dan adegan tertentu. Dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes, penulis berhasil mengidentifikasi makna konotatif, denotatif, dan mitos yang terkandung dalam film tersebut, menyoroti perubahan dalam pandangan masyarakat tentang perempuan dan peran mereka dalam masyarakat.

 

Gambaran Kuntilanak dalam Film Mangkujiwo: Analisis Semiotika Roland Barthes oleh Sania Safira Luniar, Poppy Febriana dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia

Makna Denotasi

Denotasi dalam film Mangkujiwo menggambarkan kehidupan yang penuh penderitaan dari seorang wanita penghibur yang bernama Kanti. Dia hamil di luar nikah, dipasung, dan dijadikan tumbal dalam ritual ilmu hitam. Bahkan, tragisnya, Kanti mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri saat masih mengandung. Kehidupan tragisnya tidak berakhir setelah kematian, melainkan berlanjut sebagai sosok Kuntilanak yang menakutkan. Ini adalah gambaran yang sangat mencekam tentang kondisi sosial dan psikologis wanita dalam kehidupan masyarakat yang keras.

Makna Konotasi

Konotasi dalam film ini menggambarkan sifat dan karakter Kuntilanak yang mengerikan. Sebagai akibat dari perbuatannya semasa hidup yang tragis, Kuntilanak memiliki sifat balas dendam yang sangat kuat. Dia menjadi sosok yang jahat dan menakutkan, dengan keinginan untuk mencelakakan orang lain. Konotasi ini menggambarkan bahwa kejahatan dan penderitaan seseorang semasa hidupnya dapat mempengaruhi nasibnya setelah kematian, menjadikannya sebagai makhluk yang menakutkan.

Mitos

Mitos yang tergambar dalam film Mangkujiwo adalah bahwa Kuntilanak merupakan wujud dari arwah wanita yang meninggal secara tragis, seperti saat aborsi, bunuh diri, atau dibunuh dalam keadaan mengandung. Mitos ini menciptakan pandangan bahwa Kuntilanak adalah sosok yang jahat dan kejam, yang ingin membalas dendam atas penderitaannya semasa hidup. Masyarakat percaya bahwa kejahatan Kuntilanak adalah bentuk balas dendam yang terus berlanjut setelah kematian, dan mereka masih mempercayainya sebagai sosok yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan tertentu atau untuk memperlancar usaha. Dengan demikian, jurnal ini memberikan gambaran yang mendalam tentang makna konotasi, denotasi, dan mitos yang terkandung dalam gambaran kuntilanak dalam film Mangkujiwo. Analisis semiotika Roland Barthes membantu dalam memahami lapisan-lapisan makna yang tersembunyi dalam representasi ini, yang mengungkap aspek-aspek psikologis, sosial, dan budaya yang kompleks.

 Analisis Semiotik Roland Barthes Pada Film Animasi Nussa Dan Rara episode 1 sampai 5, oleh Imam Santoso , Irwansyah di STAI Al-Fatah

Dalam jurnal tersebut, penelitian dilakukan terhadap film animasi "Nussa dan Rara" dari episode 1 sampai 5 dengan pendekatan analisis semiotik Roland Barthes. Film animasi ini merupakan bagian dari media massa modern, khususnya YouTube, yang digunakan untuk menyampaikan pesan dakwah melalui karakter Nussa dan Rara.

Penelitian sebelumnya telah dilakukan terhadap film animasi dengan pendekatan yang sama, tetapi penelitian ini lebih memfokuskan pada simbol dan makna komunikasi dakwah dalam film "Nussa dan Rara". Melalui analisis semiotik Roland Barthes, peneliti berusaha memahami dan memaknai tanda-tanda atau lambang yang terdapat dalam film tersebut untuk efektivitas dalam konteks komunikasi dakwah.

Dalam metodologi penelitian, digunakan pendekatan kualitatif dengan analisis isi (content analysis) dan pengumpulan data dari film animasi tersebut. Data primer diperoleh dari rekaman video film, sementara data sekunder berasal dari literatur yang mendukung penelitian. Analisis data dilakukan dengan observasi langsung terhadap film dan interpretasi sesuai dengan model semiotika Roland Barthes.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa film "Nussa dan Rara" menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui denotasi, konotasi, dan mitos. Pesan-pesan tersebut berkisar pada nilai-nilai Islam seperti kebersihan, adab-adab sebelum melakukan aktivitas, keteguhan akidah, dan pentingnya bersedekah. Penelitian ini menghasilkan rekomendasi kepada produser dan animator agar lebih mengedepankan konten edukasi yang sesuai dengan keseharian anak-anak sebagai target audiens.

Review jurnal ini memberikan pemahaman mendalam tentang makna visual, karakter, dan nilai budaya yang terkandung dalam film kartun "Adit Sopo Jarwo" episode 31 "Bemo Hilang Jarwo Bimbang". Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan fokus pada analisis visual karakter, termasuk warna, gestur, dan karakteristik fisik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap karakter dalam film tersebut memiliki ciri khas yang unik, membedakan satu sama lain, dan saling membutuhkan.

 Makna Visual Karakter Film Kartun Adit Sopo Jarwo Episode 31 “Bemo Hilang Jarwo Bimbang” Viony Berlianti Juandi , Dini Faisal Program Studi Desain Komunikasi Visual FBS Universitas Negeri Padang

Penelitian ini juga mengaitkan makna visual dengan nilai budaya yang terkandung dalam karakter-karakter tersebut. Misalnya, karakteristik fisik Jarwo mencerminkan sikap yang keras dan pemarah, sementara warna pakaian yang digunakan oleh setiap karakter memiliki konotasi yang berbeda sesuai dengan nilai budaya yang ingin disampaikan. Selain itu, jurnal ini juga mencakup analisis dari penelitian sebelumnya yang menggunakan pendekatan semiotika untuk memahami karakter-karakter dalam film tersebut. Misalnya, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa karakter Jarwo memiliki sifat opportunisme yang cenderung negatif, sementara karakter Sopo memiliki sikap yang polos dan tidak berpendirian. Secara keseluruhan, jurnal ini memberikan wawasan yang mendalam tentang cara visual karakter dalam film kartun mencerminkan nilai budaya dan pesan yang ingin disampaikan kepada penonton. Dengan menggunakan metode analisis yang beragam, penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang makna dalam film kartun "Adit Sopo Jarwo".

 Representasi Maskulinitas pada Sosok Ayah dalam Film (Studi Semiotika Roland Barthes pada Film Fatherhood) Winardi Aldrian1 , Suzy S. Azeharie2 1Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanagara, Jakarta

Denotasi pada adegan tersebut adalah deskripsi langsung dari apa yang terlihat dalam gambar atau adegan film. Misalnya, pada Gambar 1 (Adegan Membersihkan Tubuh Bagian Bawah Maddy), denotasinya adalah seorang pria (Matthew) yang membersihkan tubuh bagian bawah seorang bayi (Maddy) menggunakan tisu. Konotasi adalah interpretasi atau makna yang lebih dalam yang dapat diambil dari denotasi tersebut. Pada Gambar 1, konotasinya adalah bahwa Matthew sebagai seorang ayah mengambil peran dalam pekerjaan domestik yang biasanya dianggap sebagai peran perempuan, seperti mengganti popok dan membersihkan bayi. Mitos adalah asumsi atau pandangan masyarakat yang melekat pada adegan atau gambar tersebut. Misalnya, dalam Gambar 1, mitosnya adalah bahwa pekerjaan domestik seperti mengganti popok biasanya dianggap sebagai tanggung jawab perempuan, sehingga adegan ini menantang stereotip gender yang melekat pada peran ayah. Dengan demikian, penelitian tersebut menggunakan semiotika Roland Barthes untuk menganalisis representasi maskulinitas pada sosok ayah dalam film "Fatherhood" melalui denotasi, konotasi, dan mitos yang terkandung dalam adegan-adegan film tersebut.

REPRESENTASI PEREMPUAN DAN ALAM DALAM FILM MOANA KARYA SUTRADARA RON CLIMENTS DAN JOHN MUSKER ( KAJIAN SEMIOTIK ROLAND BARTHES) Dhian Bintariana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya

Dalam esainya yang berjudul "Empire of Signs," Roland Barthes mengeksplorasi kebudayaan Jepang melalui analisis tanda-tanda yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Barthes menggunakan berbagai elemen budaya Jepang seperti sumpit, sukiyaki, dan tempura sebagai tanda-tanda yang merefleksikan aspek penting dari budaya Jepang. Metode Barthes dalam mengumpulkan dan menganalisis tanda ini sangat selektif namun logis, di mana setiap elemen yang ia kaji memiliki makna yang lebih dalam terkait budaya Jepang. Barthes mengembangkan teorinya dengan berlandaskan pada teori tanda dari Ferdinand de Saussure. Perbedaannya terletak pada perluasan makna dengan pemaknaan dua tahap: denotasi dan konotasi. Denotasi adalah makna langsung dari tanda, sementara konotasi adalah makna tambahan yang berhubungan dengan budaya dan emosi. Konotasi ini sering kali berkembang menjadi mitos, yang merupakan sistem makna yang disepakati secara sosial dalam masyarakat.

Analisis Tanda dalam "Empire of Signs"

Denotasi dan Konotasi

- Denotasi adalah makna yang bersifat langsung dan informasional. Misalnya, ketika melihat bunga mawar, kita mengenali warna, bentuk, dan sifat fisiknya.

- Konotasi adalah makna simbolis yang lebih dalam dan kompleks, yang terkait dengan budaya dan pengalaman pribadi. Misalnya, mawar merah bisa dikonotasikan dengan cinta dan gairah.

Mitos

- Mitos adalah pengembangan dari makna konotasi. Barthes menjelaskan bahwa mitos adalah sistem komunikasi yang bukan hanya sekadar objek atau ide, tetapi lebih kepada bagaimana makna disampaikan melalui objek tersebut. Mitos menjadi ideologi yang memengaruhi kondisi sosial masyarakat.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif yang bertumpu pada karya sastra itu sendiri. Peneliti fokus membedah tanda-tanda yang merepresentasikan perempuan dalam film animasi "Moana" dengan menggunakan semiotika Roland Barthes sebagai landasan teori. Teknik pengumpulan data melibatkan dokumentasi, menonton film secara berulang-ulang, mencatat adegan penting, dan mentranskrip dialog dalam film.

Analisis Tanda dalam Film "Moana"

Tanda 1

·         Denotasi: Te Fiti, sosok perempuan hijau yang menciptakan kehidupan.

·         Konotasi: Keterkaitan perempuan dengan alam, dimana perempuan dianggap sebagai pencipta dan perawat kehidupan.

·         Mitos: Julukan "Ibu Bumi" yang menunjukkan bahwa masyarakat menganggap bumi bergender perempuan, yang mencerminkan tugas perempuan sebagai pencipta dan perawat.

Tanda 2

·         Denotasi: Moana kecil bermain di tepi pantai, membantu kura-kura

·         Konotasi: Perempuan sebagai pelestari alam.

·         Mitos: Hubungan timbal balik antara perempuan dan alam yang dipercaya oleh masyarakat ekofeminisme

Tanda 3

·         Denotasi: Perempuan menari, laki-laki menonton.

·         Konotasi: Dominasi patriarki yang menunjukkan perempuan sebagai Liyan.

·         Mitos: Pembagian tugas berdasarkan gender yang membuat perempuan berada dalam posisi subdominan.

Tanda 4

·         Denotasi: Nenek Moana menari dengan ikan pari.

·         Konotasi: Keinginan perempuan untuk kebebasan yang tidak didapatkan semasa hidup

·         Mitos: Perempuan tidak mempunyai kebebasan sebanyak laki-laki dan seringkali dianggap sebagai Liyan dalam masyarakat.

Tanda 5

·         Denotasi: Te Fiti berterima kasih kepada Moana.

·         Konotasi: Peran perempuan dalam pelestarian lingkungan.

·         Mitos: Hubungan spiritual manusia dengan alam, yang menunjukkan tingkat keimanan seseorang.

Tanda 6

·         Denotasi: Te Fiti kembali subur setelah jantungnya dikembalikan.

·         Konotasi: Relasi manusia dan alam yang baik menghasilkan alam yang subur.

·         Mitos: Alam memberikan apa yang manusia butuhkan jika manusia merawatnya dengan baik.

Roland Barthes dalam "Empire of Signs" memberikan pandangan mendalam tentang bagaimana tanda-tanda dalam kebudayaan Jepang mengandung makna yang lebih kompleks dan berkaitan dengan aspek-aspek budaya. Analisis Barthes menunjukkan bahwa setiap tanda memiliki makna denotatif yang langsung dan konotatif yang lebih dalam, yang dapat berkembang menjadi mitos dalam masyarakat. Penelitian terhadap film "Moana" dengan menggunakan teori Barthes juga menunjukkan bagaimana tanda-tanda dalam film merepresentasikan pandangan budaya tentang perempuan dan alam.

Analisis Semiotik Film Aladdin Menggunakan Teori Roland Barthes oleh Ayu Famila Putri, Arin Inayah, Wageyono, English Educational Department, Language and Art Facult y, PGRI University of Banyuwangi

Film adalah representasi dari kejadian-kejadian dalam kehidupan yang dibawa ke layar untuk komunikasi dan hiburan. Pesan atau tanda dalam sebuah film dapat dianalisis menggunakan semiotika, yaitu studi tentang tanda-tanda. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis dan makna dalam semiotika menggunakan Teori Roland Barthes, yang mencakup denotasi, konotasi, dan mitos. Metode deskriptif kualitatif digunakan, dengan data yang diambil dari adegan dan skrip film Aladdin tahun 2019. Peneliti mengumpulkan data dengan menonton film, mengamati karakter utama, membuat catatan, mengkategorikan kalimat menggunakan teori Barthes, dan menganalisis hasilnya. Studi ini mengidentifikasi 38 contoh semiotika: 21 denotasi, 13 konotasi, dan 4 mitos. Denotasi adalah yang paling dominan, sementara mitos adalah yang paling sedikit. Temuan ini menunjukkan bahwa semiotika Barthes efektif dalam menjelaskan makna dalam film, dengan setiap jenis memberikan wawasan yang berbeda berdasarkan konteksnya. Komunikasi adalah hal yang esensial dalam kehidupan sehari-hari (Nisa, 2014), dan media massa, seperti film, berfungsi sebagai alat komunikasi yang kuat, menyampaikan pesan kepada audiens yang luas (Vivian dalam Marlenah, 2012). Film, sebagai bentuk media audiovisual, menggabungkan kata-kata, suara, dan gambar untuk bercerita dan menyampaikan ide. Walt Disney Pictures, pemain utama dalam industri film, telah memproduksi film-film ternama sejak didirikan pada tahun 1923 (Schmidt, 2020). Adaptasi live-action Aladdin tahun 2019, yang awalnya adalah film animasi dari tahun 1992, menarik perhatian dan pujian global, menjadi film kelima dengan pendapatan tertinggi pada tahun 2019 (Rahayu, 2016). Aladdin, yang kaya akan pesan moral dan bahasa simbolik, adalah subjek yang ideal untuk analisis semiotika. Teori semiotika Roland Barthes, yang mencakup denotasi, konotasi, dan mitos, diterapkan untuk mengungkap makna tersembunyi dalam bahasa dan simbol-simbol dalam film ini (Bintariana, 2018). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menganalisis semiotika dalam film Aladdin 2019, dengan fokus pada teori Roland Barthes. Data dikumpulkan melalui observasi dan dokumentasi, khususnya adegan dan skrip yang melibatkan karakter utama. Proses pengumpulan data meliputi menonton film, mengamati dialog, membuat catatan, dan mengkategorikan kalimat sesuai dengan tahapan semiotika Barthes. Analisis data mengikuti pendekatan Miles dan Huberman (2014): reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Ini melibatkan fokus pada data yang relevan, menyajikannya dalam tabel analisis semiotika, dan menafsirkan temuan untuk menarik kesimpulan bermakna tentang denotasi, konotasi, dan mitos dalam film. Analisis mengungkapkan 38 contoh semiotika: 21 denotasi, 13 konotasi, dan 4 mitos.

a. Denotasi

Denotasi merujuk pada makna literal dan langsung dari sebuah kata atau frasa. Contohnya meliputi:

 

1. Heirloom (Adegan 1): Sebuah barang warisan keluarga.

2. Stealing (Adegan 2): Mengambil tanpa izin.

3. Bracelet (Adegan 3): Sebuah perhiasan yang dipakai di pergelangan tangan.

4. Silk (Adegan 4): Kain yang terbuat dari benang ulat sutra.

5. Merchant boats (Adegan 5): Kapal yang membawa barang dagangan untuk perdagangan. Contoh lainnya melibatkan istilah seperti "temperature," "maps," dan "spices," yang semuanya digunakan dalam arti harfiahnya.

b. Konotasi

Konotasi melibatkan makna figuratif atau sekunder yang terkait dengan kata-kata, sering dipengaruhi oleh asosiasi budaya atau emosional. Contohnya meliputi:

1. Lawmen (Adegan 1): Mengacu pada polisi atau hakim.

2. Street rat (Adegan 2): Menyiratkan orang miskin atau tunawisma.

3. Voice drowned (Adegan 3): Merasa diabaikan atau tidak didengarkan.

4. Broken heart (Adegan 4): Merasa sangat kecewa atau sedih.

5. Risking lives (Adegan 5): Melakukan tindakan berbahaya.

Frasa-frasa ini membangkitkan emosi atau konsep yang melampaui makna harfiahnya, memberikan wawasan yang lebih dalam tentang karakter dan situasi.

c. Mitos

Mitos, menurut Barthes, adalah perpanjangan dari konotasi, yang mencerminkan ideologi masyarakat. Contohnya meliputi:

1. Shady banyan tree: Melambangkan kesucian, terkait dengan tempat tinggal roh dalam budaya tertentu.

2. Moon above the minaret (Adegan 6): Menyiratkan tengah malam, sering dikaitkan dengan mistisisme atau ketenangan.

Jurnal ini menyimpulkan bahwa teori semiotika Roland Barthes efektif dalam menjelaskan jenis dan makna tanda-tanda dalam film Aladdin 2019. Denotasi adalah yang paling dominan, mencerminkan makna langsung, sementara konotasi dan mitos memberikan interpretasi yang lebih dalam dan dipengaruhi oleh budaya. Elemen-elemen semiotika ini mengungkapkan bagaimana bahasa dan simbol dalam film menyampaikan pesan berlapis, memperkaya pemahaman dan keterlibatan penonton.

 

 Daftar Pustaka 

https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/lunar/article/view/2453/1536

https://journal.untar.ac.id/index.php/koneksi/article/view/15540

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://ejournal.upi.edu/index.php/Cinematology/article/download/40622/17340&ved=2ahUKEwil796q1c6GAxXwbWwGHYPWB9IQFnoECB4QAQ&usg=AOvVaw1hs1U7WLExjHcj1bCN268T

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penelusuran Tanda, Makna, dan Mitos dalam Film Exhuma: Perspektif Semiotika Roland Barthes